cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bukittinggi,
Sumatera barat
INDONESIA
Al Hurriyah : Jurnal Hukum Islam
ISSN : 25493809     EISSN : 25494198     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Al-hurriyah merupakan media publikasi hasil penelitian dan kajian konseptual tentang tema-tema kajian hukum Islam: Jurnal ini terbit dua edisi dalam satu tahun ditujukan untuk kalangan pakar akademisi, praktisi, LSM, lembaga kajian dan lembaga penelitian sosial keagamaan.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 5, No 2 (2020): Juli - Desember 2020" : 8 Documents clear
Memaknai Perolehan Rezki dalam Hukum Ekonomi Syariah Endri Yenti; Hasramita Hasramita; Hanif Aidhil Alwana
Alhurriyah Vol 5, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/alhurriyah.v5i2.3613

Abstract

Islam as a religion that has universal teachings, not only talks about aqidah as the main foundation of people in adhering to religion, but also teaches good relations among humans (muamalah). In Islam, the discussion of economics cannot be separated from the concept of sustenance, some people assume that sustenance is identical to property, because economic activity is an activity to fulfill material needs or property (al-Mal) as a life support. Economic activity is an effort to fulfill basic human needs in order to worship Allah SWT. Therefore, it must be ensured through the rules and methods justified by sharia. Although in principle various types of muamalah are permitted, the concept of usury is strictly not justified in sharia economic law, so it must also be ensured that in meeting daily needs, Muslims must obey these limits and provisions. The method used in this paper is to reveal the meaning of the limitations (arguments) of the Qur'an and Sunnah regarding the acquisition of sustenance then analyzed based on the sociological ethical aspects of Islamic economic law activities. And in this paper the activities of usury and gharar are one of the enemies of Islamic economics in the perspective of Islamic law.Islam sebagai suatu agama yang memiliki ajaran universal, tidak hanya bicara tentang aqidah sebagai pondasi utama umat dalam menganut agama, tapi juga mengajarkan hubungan baik sesama manusia (muamalah). Dalam Islam, bahasan ekonomi tidak terlepas dari konsep rezki, sebagian masyarakat mengasumsikan bahwa rezki identik dengan harta, karena kegiatan ekonomi merupakan aktifitas pemenuhan kebutuhan material atau harta (al-Mal) sebagai penyangga kehidupan. Aktifitas ekonomi merupakan usaha pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam rangka menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Oleh karenanya mesti dipastikan melalui aturan dan cara yang dibenarkan syariah. Sekalipun pada prinsipnya, berbagai jenis muamalah dibolehkan. Konsep riba dengan tegas tidak dibenarkan dalam hukum ekonomi syariah, maka harus dipastikan pula dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, umat Islam harus patuh pada batas dan ketentuan tersebut. Metode yang digunakan dalam tulisan ini ialah dengan mengungkap makna batasan (dalil) dari al-Qur`an dan Sunnah tentang perolehan rezki, kemudian dianalisis berdasarkan aspek etik sosiologis aktifitas hukum ekonomi Syariah. Dan dalam tulisan ini, aktifitas riba dan gharar menjadi salah satu musuh ekonomi dalam persepktif ekonomi syariah.
Khuntsa dan Penetapan Statusnya dalam Pandangan Fiqh Kontemporer Ilham Ghoffar Solekhan; Maulidi Dhuha Yaum Mubarok
Alhurriyah Vol 5, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/alhurriyah.v5i2.3324

Abstract

Khuntsa is a condition when an individual has two sexes and cannot be identified whether he is a woman and a man. Khuntsa can be divided into two types, 1) Khuntsa Musykil, which is a double genital condition where the determination of sex is very difficult, 2) Khuntsa Gahiru Musykil, a condition of multiple genitalia that can still be easily identified by its genitals. The new Jurisprudence still uses the old notion of khuntsa. Even so, khuntsa in the modern world is considered a possible sexual anomaly and can occur in some people. This study uses the literature research method or by using a theological normative approach that explains the main issues in the view of Islamic and positive law, and the divine side. Khuntsa also gave rise to psychological theories which show that this condition can trigger psychological problems which can affect physical and behavioral. The world of modern medicine categorizes khuntsa as genital anomalies that can be identified and can be treated. The recommended treatment is the same procedure as for sex changes. Although contrary to classical fiqh, in contemporary fiqh it can occur with consideration. One of the considerations given is the fiqh rule which is الضرر يزال which is also a strong proposition to prove the importance of establishing status for khuntsa.Khuntsa adalah suatu keadaan ketika seorang individu memiliki dua kelamin dan tidak dapat diidentifikasikan apakah dia perempuan dan laki-laki.  Khuntsa dibedakan menjadi dua macam, 1) Khuntsa Musykil, yaitu suatu keadaan kelamin ganda yang penentuan kelaminnya sangat sulit, 2) Khuntsa Ghairu Musykil, yaitu keadaan kelamin ganda yang masih dapat dengan mudah diidentifikasikan kelaminnya. Fiqh baru masih menggunakan pengertian lama mengenai khuntsa. Meskipun demikian, khuntsa di dunia modern dianggap sebagai anomali kelamin yang memungkinkan dan dapat terjadi pada beberapa orang. Tulisan ini menggunakan metode penelitian pustaka atau literature review dengan menggunakan pendekatan normatif teologis yang menjelaskan pokok persoalan dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif, dan sisi ketuhanan. Keadaan khuntsa juga memunculkan teori psikologi yang menunjukkan bahwa keadaan ini dapat menjadi pemicu masalah psikologis bagi individu khuntsa tersebut yang dapat berpengaruh terhadap fisik dan perilaku. Dunia kedokteran modern mengategorikan khuntsa sebagai anomali kelamin yang dapat diidentifikasikan, dan dapat ditangani. Penanganan yang disarankan adalah prosedur yang sama seperti pada pergantian kelamin. Meskipun bertentangan dengan fiqh klasik, namun dalam fiqh kontemporer hal tersebut dapat terjadi dengan pertimbangan. Salah satu pertimbangan yang diberikan adalah kaidah fiqh yaitu الضرر يزال yang juga merupakan dalil yang kuat untuk membuktikan pentingnya penetapan status bagi khuntsa.
Pembentukan Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Hamsah Hudafi
Alhurriyah Vol 5, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/alhurriyah.v5i2.3647

Abstract

The formation of a sakinah mawaddah and rahmah family is a family that is desired by every married person. The purpose of a marriage and the application of the rights and obligations of husband and wife, because in this day and age we see many marriages that do not last long. This encourages the author to write an article that will discuss how to build a sakinah-mawaddah-warahmah family in accordance with the Marriage Law and Islamic Law Compilation (KHI). The writing method used a literature studies that take from existing books and writings. In this paper, there are efforts to establish a household, namely those contained in articles 30-34 of the Marrige Law and article 77 KHI and also solutions to the formation of the samawa household. The solution is to maintain communication relationships, biological needs, appearances and regulate the family economy. Pembentukan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah merupakan sebuah keluarga yang diinginkan oleh setiap orang yang sudah menikah. Tujuan dari sebuah perkawinan dan penerapan hak dan kewajiban suami istri, karena di zaman sekarang banyak kita lihat pernikahan-pernikahan yang tidak berlangsung lama. Hal tersebut mendorong penulis untuk menulis sebuah tulisan yang akan membahas tentang bagaimana membangun keluarga yang sakinah-mawaddah-warahmah sesuai dengan Undang-undang perkawinan dan KHI. Metode penulisan menggunakan studi literatur yang mengambil dari buku dan tulisan yang sudah ada. Dalam tulisan ini terdapat upaya pembentukan rumahtangga yaitu yang terdapat pada pasal 30-34 UUP dan pasal 77 KHI dan juga solusi pembentukan rumah tangga yang samawa. Adapun solusinya yaitu menjaga hubungan komunikasi, kebutuhan biologis, menjaga penampilan dan mengatur ekonomi keluarga.
Korupsi, Hibah dan Hadiah dalam Persfektif Hukum Islam (Klarifikasi dan Pencegahan Korupsi) Muhammad Sabir; Iin Mutmainnah
Alhurriyah Vol 5, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/alhurriyah.v5i2.2690

Abstract

This study attends to analyze the ulama perspective regarding the corruption, gift and grants, as well as the actions taken to prevent corruption. Qualitative descriptive is type of this research and uses a juridical sociology approach in analyzing corruption. Prizes and grants that are assumed to be gratuities are basically commendable acts but can lead to criminal acts of corruption when related to officials government. while the ulama agree that corruption is an illegal act. And the preventing and overcoming corruption is to carry out strict supervision and to give strict sanctions to the perpetrators.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pandangan ulama menyangkut korupsi, hadiah dan hibah, serta tindakan  yang dilakukan dalam mencegah tindak pidana korupsi. Deskriptif kualitatif merupakan jenis penelitian ini dan menggunakan pendekatan sosiologi yuridis dalam menganalisis tindak pidana korupsi. Hadiah dan hibah yang diasumsikan sebagai gratifikasi pada dasarnya merupakan perbuatan terpuji namun bisa berujung pada tindak pidana korupsi apabila berkaitan dengan pejabat. Sementara ulama bersepakat bahwa korupsi adalah perbuatan haram. Hal yang dilakukan dalam pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korupsi ialah melakukan pengawasan ketat dan memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku.
Euthanasia dalam Pandangan Moral, Kode Etik Kedokteran dan Perspektif Hukum Islam Zilfania Rahmawati; Ashif Az Zafi
Alhurriyah Vol 5, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/alhurriyah.v5i2.3205

Abstract

The practice of euthanasia in medicine has become a topic that raises various discussions when viewed from different points of view. The existence of differences of opinion that arise from the practice of euthanasia is normal because the practice is related to human life. Based on this, this scientific study aims to determine euthanasia from a moral perspective, a medical code of ethics and in the perspective of Islamic law. The process of collecting data from scientific studies was carried out by means of literature research using qualitative descriptive methods in presenting and analyzing the data obtained. The results of the study show how euthanasia practices are in accordance with the medical code of ethics, moral views and how the law is in Islam.Praktik Euthanasia dalam kedokteran menjadi hal yang menimbulkan berbagai perbincangan bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Adanya perbedaan pendapat yang muncul dari praktik euthanasia merupakan suatu kewajaran karena praktik tersebut berhubungan dengan nyawa manusia. Berdasarkan hal tersebut studi ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui euthanasia dalam pandangan moral, kode etik kedokteran dan dalam perspektif hukum Islam. Proses pengumpulan data studi ilmiah ini dilakukan dengan cara penelitian literatur menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam penyajian dan anlisis data yang diperoleh. Hasil dari penelitian menunjukkan bagaimana praktik euthanasia yang sesuai kode etik kedokteran, pandangan moral dan bagaimana hukumnya dalam agama Islam.
Praktik Martuppak Martahi di Desa Sibargot Kabupaten Labuhanbatu Sumatera Utara Ditinjau dari Perspektif Utang Piutang Laila Afni Rambe
Alhurriyah Vol 5, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/alhurriyah.v5i2.2939

Abstract

The factors underlying the writer in discussing this title see the Sibargot Village community doing Martuppak Martahi practices in the Walimah program. Then there is a repayment of money that has been given in Walimah, furthermore it is not known included in the payment of accounts payable or only limited to giving. Whereas in Islam, the loan receivables contract must be clear, both in terms of payment time and in terms of the amount of money that must be paid. The purpose of this research is to find out the practice of Martuppak Martahi in the Walimah event in Sibargot Village in terms of Debt Debt Perspectives. The method used is field research using interview techniques. Then the data is analyzed using qualitative descriptive analysis methods. From the results of the analysis conducted by the author on these data it can be concluded that according to the perspective of accounts receivable debt, Martuppak Martahi practices are not accounts receivable debt, but are included in the giving off and this is permissible.Faktor yang melatarbelakangi penulis dalam membahas judul ini melihat masyarakat Desa Sibargot melakukan praktik Martuppak Martahi dalam acara walimah. Kemudian adanya pembayaran kembali uang yang telah diberikan di walimah, selanjutnya hal itu tidak diketahui termasuk dalam pembayaran utang piutang atau hanya sebatas pemberian semata. Sedangkan dalam Islam, akad utang piutang yang dilakukan harus jelas, baik dari segi waktu pembayaran maupun dari segi jumlah uang yang harus dibayarakan. Adapun tujuan dalam penelitian untuk mengetahui praktik Martuppak Martahi  dalam acara walimah di Desa Sibargot ditinjau dari perspektif utang piutang. Metode yang digunakan yaitu penelitian lapangan dengan menggunakan teknik wawancara. Kemudian data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dari hasil analisis yang penulis lakukan terhadap data tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut perspektif utang piutang praktik Martuppak Martahi bukanlah merupakan utang piutang tapi termasuk kepada pemberian lepas dan praktik tersebut boleh dilakukan.
Kedudukan Fatwa DSN-MUI dalam Transaksi Keuangan pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia Awaluddin Awaluddin; Andis Febrian
Alhurriyah Vol 5, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/alhurriyah.v5i2.3366

Abstract

National Sharia council fatwa is a reference by every sharia financial institution in Indonesia in carrying out its operations. To implement sharia compliance by sharia financial institutions as formed as an extension of the DSN to oversee every financial institution to be in line with sharia principles. A problem that often arises in Islamic financial institutions is that the fatwa issued by DSN requires studies and opinions from DPS in operational techniques in Islamic financial institutions. the existing fatwas have not yet been represented in technical transactions at financial institutions. This research is a sociological juridical study, which examines the existence of MUI fatwas and the development of sharia economy and how the legal relationship between the MUI fatwa and the implementation of sharia economy in Indonesia with applicable laws and regulations. The results of this study see that the position of the fatwa in the perspective of banking law in Indonesia as a juridical reason for the legislature to set in the legislation. Besides that, the DSN fatwa as a technical basis for supervision is regulated in the laws and regulations on Islamic banking. From the data obtained that the position of fatwa in sharia banking has become a reference in every transaction for the future, each DPS in sharia financial institution is expected to not only be an independent board that is complementary but has a special position and staff in charge of each transaction carried out in the hope of implementing Sharia principles are maximally implemented. Fatwa dewan syariah nasional merupakan rujukan oleh setiap lembaga keuangan syariah di Indonesia dalam menjalankan opersionalnnya. Untuk menjalankan kepatuhan syariah oleh lembaga keuangan syariah maka dibentuklah Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai perpanjangan tangan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) untuk mengawasi setiap lembaga keuangan untuk sejalan dengan prinsip syariah. Problem yang sering muncul di lembaga keuangan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan oleh DSN membutuhkan kajian dan opini dari DPS dalam teknis operasional di lembaga keuangan syariah. Fatwa yang sudah ada belum semuannya terwakili dalam teknis transaksi pada lembaga keuangan. Penelitian ini merupakan suatu penelitian yuridis sosiologis, yaitu meneliti tentang keberadaan Fatwa-fatwa MUI dan perkembangan ekonomi syariah dan bagaimana hubungan hukum antara fatwa MUI dan pelaksanaan ekonomi syariah di Indonesia dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian ini melihat bahwa kedudukan fatwa dalam prespektif hukum perbankan di Indonesia sebagai alasan yuridis bagi lembaga legislasi untuk menetapkan dalam aturan perundang-undangan. Disamping itu juga fatwa DSN sebagai dasar teknis pengawasan yang diatur dalam aturan perundang-undangan tentang perbankan syariah. Dari data yang diperoleh bahwa kedudukan fatwa pada perbankan syariah sudah menjadi rujukan dalam setiap transaksi untuk kedepannya setiap DPS yang ada dilembaga keuangan syariah diharapkan tidak hanya sebagai dewan independen yang besifat sebagai pelengkap tetapi memiliki kedudukan dan staf khusus yang membidangi setiap transaksi yang dijalankan dengan harapan pelaksanaan prinsip syariah maksimal dilaksanakan.
Esensi Tenggang Waktu Sidang Ikrar Talak di Pengadilan Agama Bukittinggi Rahmiati Rahmiati; Elfiani Elfiani
Alhurriyah Vol 5, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/alhurriyah.v5i2.3295

Abstract

This research is motivated by the decree in article 70 of Law act. 7 of 1989 regarding of the Religious Courts which regulates a grace period of 6 (six) months for witnessing a divorce pledge trial at the Religious Court. of setting this rule. The purpose of this study is to determine the implementation of the talak pledge trial at the Bukittinggi Religious Court as well as to know the wisdom of determining the 6 (six) month grace period for pronouncing the divorce vows by the husband against the wife in front of the Religious Court. This paper uses descriptive field research methods within the framework of qualitative analysis from data sources of observation, interviews and literature. The results of research and analysis found that the implementation of the pledge trial at the Bukittinggi Religious Court was carried out after the decision on the divorce divorce case had permanent legal force (inkracht), that is, if there was no ordinary legal remedy against the verdict. The time limit given to carry out the divorce pledge at the trial after the verdict with incraht is six months after the date of the divorce pledge trial is determined. The wisdom from determining a grace period of 6 (six) months for the husband to pledge his divorce is; First, to give the husband the opportunity to think about reviewing the decision to divorce his wife. Second, protection of the rights of women (wives). In this case, the husband is given the opportunity within this grace period to fulfill the rights of the wife who is demanded in court and decided by the panel of judges.Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketentuan dalam Pasal 70 UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mengatur tenggang waktu 6 (enam) bulan untuk penyaksian sidang ikrar talak di Pengadilan Agama. Aturan ini sejatinya tidak ditemukan di dalam kajian fiqh, namun secara fungsi belum terungkap kegunaan dari penetapan aturan ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan sidang ikrar talak di Pengadilan Agama Bukittinggi sekaligus mengetahui hikmah dari penetapan tenggang waktu 6 (enam) bulan untuk pengucapan ikrar talak oleh suami terhadap isteri dihadapan sidang Pengadilan Agama. Tulisan ini menggunakan metode penelitian lapangan yang bersifat deskriptif dalam kerangka analisis kualitatif dari sumber data observasi, wawancara dan literatur. Hasil penelitian dan analisa ditemukan bahwa pelaksanaan sidang ikrar talak di Pengadilan Agama Bukittinggi dilakukan setelah keputusan perkara cerai talak mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu apabila terhadap putusan tersebut tidak adalagi upaya hukum biasa. Tenggang waktu yang diberikan untuk melaksanakan ikrar talak di Persidangan setelah putusan Berkekuatan Hukum Tetap (BHT) adalah enam bulan sejak penetapan hari sidang ikrar talak. Hikmah dari penetapan tenggang waktu 6 (enam) bulan bagi suami untuk mengikrarkan talaknya adalah; Pertama, untuk memberikan kesempatan berpikir kepada suami guna mengkaji ulang keputusan menceraikan isterinya. Kedua, Perlindungan terhadap hak-hak perempuan (isteri). Dalam hal ini, suami diberi kesempatan dalam tenggang waktu tersebut, untuk memenuhi hak-hak isteri yang dituntut di persidangan dan diputuskan oleh majelis hakim. Tujuan utama dari ketentuan tenggang waktu untuk ikrar talak adalah untuk mempersulit terjadinya perceraian dan kemaslahatan terhadap suami (pemohon) dan isteri (termohon).

Page 1 of 1 | Total Record : 8